IBUKU BERTIGA
Apakah arti ibu bagimu?
Siapakah seorang ibu, menurutmu?
Itulah pertanyaan klasik dari beberapa orang tentang makna ibu di setiap menyongsong ataupun menyambut hari ibu di Indonesia. sebagian orang, memaknai seorang ibu dari seberapa besarnya pengorbanan dan perjuangan ibu sedari mengandung selama 9 bulan, melahirkan dengan perjuangan antara hidup atau mati, menyusui secara eksklusif 6 bulan dan merawat sang anak hingga dipinang pujaan hati; ada juga yang memaknainya dari sejauh mana perjuangan ibu dalam mencari nafkah (orangtua tunggal) untuk memenuhi semua kebutuhan sang anak.
Semua perspektif tentang keberadaan seorang ibu sudah pasti memberikan nilai positif dan bisa sampai mengharu biru saat memutar kenangan atau memori lama.
Satu yang pasti, hampir semua anak telah merasakan kasih seorang ibu dan hidup bersama sang ibu.
Namun bagi beberapa anak, mereka memiliki perspektif yang berbeda. Mereka bahkan tak mampu merasakan apa itu kasih seorang ibu. Sebagian anak yang terpaksa, tidak hidup bersama sang ibu. Bisa jadi karena sedari kecil mereka tidak mendapati keberadaan ibu dalam hidupnya. Entah ditinggal mati atau ditinggal pergi dengan begitu saja.
Menurutmu, Apa arti seorang ibu bagi mereka? Siapakah seorang ibu, menurut mereka?
Aku, boleh berperspektif untuk versi yang ini. Kenapa? Karena aku adalah sebagian dari anak yang tak hidup dengan sosok ini.
Dilahirkan kedunia bukan kuasaku, tapi itulah takdir. Takdir yang patut aku syukuri.
Dibesarkan dan dirawat tanpa seorang ibu, itu juga adalah takdir. Takdir yang belakangan baru aku syukuri.
Kok bisa?
Aku dilahirkan oleh sang ibu yang sedang duduk di bangku sekolah saat itu, tepatnya kelas 3 SMA. Menurut pandangan manusia-manusia jaman 90an, ini adalah sebuah kesalahan. Sang murid "bermasalah" ini harus diberhentikan dari tugas balajarnya di sekolah. Dan begitulah, ibu pun berhenti sekolah.
Dan sejak aku dilahirkan dengan baik, aku pun ditinggal pergi oleh ibu. Tapi aku bersyukur, aku ditinggal pergi bukan tanpa alasan. Ibuku harus melanjutkan tugas belajarnya. Aku bangga karena opa dan omaku tetap mengutamakan pendidikan anaknya. Ibuku kemudian menuntaskan sekolah menengahnya di ibukota dan bahkan malanjutkannya ke jenjang perguruan tinggi.
Dan Sejak ditinggal lahir itulah, aku menikmati masa kecilku tanpa ibu dan hidup bersama Opa dan Oma.
Aku tinggal bersama Opa omaku dan dididik selayaknya anak bungsu mereka, tanpa sekalipun menghapus jejak keberadaanku. Mereka memutuskan untuk tetap mengenalkan ku akan sosok ibu (secara biologis) dengan tetap memanggil "mama" pada ibuku dan tidak ingin menggantikan posisi opa dan omaku sebagai orang tua (ayah dan ibu/bapa dan mama) dengan tetap memanggil mereka "Opa dan Oma".
Opaku seorang yang pekerja keras. Ia penopang keluarga yang bertanggungjawab. Demikian omaku. Beliau tidak hanya mengurus keluarga (suami, anak dan cucu) tapi juga turut mencari nafkah dengan membantu pekerjaan opa. Pontang panting mereka bekerja, berjuang mengumpulkan beras dengan usaha jasa penggilingan padi dari satu desa ke desa lainnya di kabupaten kami. Aku tahu betul, betapa sibuk dan tersitanya waktu mereka demi mencukupi kebutuhan hidup keluarga kami, demi memenuhi biaya sekolah anak dan cucunya. Saat itu, Sebagian besar waktu Omaku habis untuk mendampingi dan turut bekerja membantu opa.
Beruntungnya, aku mempunyai seorang bibi (kakak ibuku) yang tidak menikah dan tinggal serumah bersama Opa dan Oma. Bibi yang biasa kusapa "mama Ina" inilah yang sibuk menjaga dan merawatku di rumah. Ia mengurusku selayaknya seorang ibu; memandikanku, menyuapiku makanan, menggendong dan bermain denganku, mencuci setrika pakaianku, menyisir rambut dan mendandaniku, mengantar dan menjemputku dari sekolah, dan masih banyak lagi. Mama Ina tidak pernah bersekolah. Ia tak bisa baca maupun tulis, tak tahu berhitung. Ia bahkan tak paham akan sesuatu yang tersirat, sekalipun itu perbincangan sederhana. Mama Ina ku begitu polos. Ia bersih dan tulus hatinya (Sampai kalimat ini ditulis, airmataku jatuh mengingatnya).
Mama Ina dengan segala keterbatasannya, mampu merasakan emosiku. Ia paham betul Saat aku marah, sedih, bahagia, frustasi, kecewa, atau merasa dicurangi/tidak adil; ia tahu menempatkan posisinya di sampingku. Semakin dewasa, semakin aku rasakan betapa mama Ina semakin sulit menghadapi ku. Masa sulit dimana ia tak tahu harus bersikap apa dengan "anaknya" yang memasuki masa2 pubertasnya. Disini, peran Oma kembali berotoritas. Sesibuknya Ia bekerja, ia tahu akan keterbatasan mama Ina dalam merawat dan mendampingi tumbuh kembangku. Oma dengan kebijakannya, mendidik ku dengan Kasih dan pengenalannya akan Tuhan. Bagaimana aku akhirnya menyadari sebuah istilah bahwa "rotan tak selamanya benci". Aku ingat benar, masa-masa dimana aku mulai nakal. Bermain tak ingat waktu dan tugas rumah. Tidak hanya doa dan nasihat, amarahnya pun tertuang lewat sederetan Omelan yg membuat telinga pendengarnya memanas dan segerombolan ruam merah di betisku akibat ganasnya Rotan Kasih (istilah rotan oleh omaku). Kebiasaan Oma, menyuruhku makan sebelum merotanku, dan sambil merotan ia akan menanyakan apa saja kesalahan-kesalahan yang sudah kubuat hari itu. Dan setelah dewasa, baru kutahu maksud dibalik ritual rotan kasihnya itu. Suatu waktu, aku penasaran dan bertanya padanya kenapa setiap kali akan merotanku, ia harus menyuruhku segera makan dan jawabannya cukup singkat: ,"yaaah, biar nanti kalau kau menangis dirotan dan sampai tertidur, setidaknya kau tak tidur dengan perut kosong atau lapar". Betapa ia tetap memperhatikan fisikku saat aku mengganggu pikirannya dengan kenakalanku.
Sampai selesai sarjanaku, aku tak pernah merasakan hidup bersama ibu. Aku hanya akan bertemu Ibuku saat ia ke rumah karena liburan kuliah, liburan kerja, dan terakhir saat liburan mudik bersama keluarganya. Yah, ibuku kemudian menikah dan menemukan tambatan hatinya. Ia bersama keluarga barunya senantiasa mudik bersama saat hari raya natal atau paskah. Disitulah baru aku bertemu dan setidaknya hidup bersama ibu sekurang-kurangnya 14 hari setiap tahunnya.
Lalu, Bagaimana dengan kasih ibu? Yang aku rasakan, kasih ibuku ibaratnya kasih seorang kakak terhadap adiknya. Betapa tidak, sejauh yang kualami ibuku tidak pernah menentukan apapun dalam hidupku, ia hanya sekedar memberi masukan dan ide. Ia tidak memaksaku untuk menjalankan prinsip hidupnya yang dirasakannya itu baik atau mungkin memberi pengajaran padaku saat aku nakal, seperti menjewer atau merotan betisku, sungguh tidak ada. Hubungan kami ibarat kenalan baik yang mengerti akan keadaan masing-masing. Memberi support atau nasihat tanpa mengganggu pribadi masing-masing. Sama sekali, ia tampak tak "berkuasa" perihal hidupku. Mungkin ibu tahu diri dan beranggapan bahwa aku ada dalam penguasaan ibu bapaknya dalam hal ini opa omaku.
Disatu sisi, aku senang karena ia tak pernah menunjukkan sosok "otoriter" hidupnya padaku. Yang aku dapati darinya, ia ibu yang begitu pengertian dan peduli pada perasaanku dan lebih "terserah apa baiknya bagimu, nak". Tanpa ada alasan yang mengikuti. Namun dilain sisi, aku sedih karena aku tak dapati "emosional rasa" dengannya; seperti saat ia memarahi adik-adikku dengan suara kalemnya, saat ia menggendong dan menimang-nimang adikku yang masih bayi sambil berdengung Nina Bobo, saat ia mengepang rambut adik Perempuanku sambil bergumam, "tuuh kan, ibu jagokan mengikat rambutmu?". Hal-hal seperti inilah yang kadang membuatku sedih dan merasa kami tak sedekat ini. Membuatku terus bertanya akan "bagaimanakah rasanya hidup bersama seorang ibu kandung?"
Hingga saat ini, aku menyadari bahwa keberadaaan ibu bukan jawaban atas beberapa pertanyaanku. Tetapi kehadiran sosok ibu, baik itu lewat kasih Oma maupun mama Ina, itulah jawaban atas semua pertanyaanku.
Semakin bertambah usia semakin aku belajar untuk memahami situasi. Dan itu tidaklah mudah, karena aku hidup dalam lingkup masyarakat yang masih minim pemahaman akan keberadaan "anak-anak" yang sepertiku. Dan aku maklumi.
Aku kuat dan telah dididik sedemikian rupa oleh opa dan Oma untuk lebih dewasa dalam melihat keadaan dan kehidupan.
Disaat semua anak bersukacita karena telah dibesarkan oleh seorang ibu yang hebat, aku lebih berbangga karena diperkenankan Tuhan untuk diayomi oleh 3 wanita kuat. Oleh seorang ibu, aku dilahirkan dalam usia yang masih belia dan penuh tekanan pastinya; dipelihara secara bertanggung jawab oleh omaku, yang tak hanya lelah mencari nafkah tapi juga mengurusi semua kebutuhan dasar hidupku; dan dengan kedua tangannya yang murni, aku dirawat oleh mama Ina secara otodidak. Sejauh pemahaman polosnya akan perilaku moral terbaik yang pantas ia terapkan selama puluhan tahun merawatku.
Betapa kini, baru aku syukuri. Bukan main baiknya Tuhan menempatkan aku dalam keadaan keluarga yang seperti ini. Teori kebanyakan orang yang menilai bahwa hidupku mengalami kekosongan akan kehadiran sosok ibu telah terpatahkan. Karena aku melihatnya bukan dari keberadaan fisiknya, namun hakekat sosoknya seorang ibu. Untuk hal ini, aku berterimakasih pada opa omaku karena tidak pernah meniadakan keberadaan ibuku, namun tetap menghadirkan figur ibu yang baik bagiku sepanjang 27 tahun hidupku.
Terima kasih ibu, Terima kasih Oma, Terima kasih mama Ina. Keberadaan kalian membuatku mengerti bahwa kalian adalah "teman hidup" yang membuatku tetap hidup.
Selamat hari Ibu, mama-mamaku tersayang. Aku mencintaimu.
Mama Hellen Jenise Tunya Raga
Oma Rosaline Tunya More
mama Ina Mardina Tunya Raga
(Hingga tulisan ini dibuat, opa omaku telah tiada. Omaku meninggal pada 1 April 2019, menemui kekasih hatinya yang telah 7 tahun lebih awal meninggalkannya. Masih dirumah yang telah aku tinggali selama 27 tahun bersama kenangan mereka, Mama inaku yang polos, kini tinggal sendiri ditemani adik laki-lakinya yang telah berkeluarga. Dan ibuku sendiri, ia masih dengan keluarganya. Mereka hidup baik, sebagaimana opa omaku telah berjasa membuka lembaran hidup yang baru buat anak bungsu mereka, ibuku).
Note: Jika saja Oma masih hidup, sudah pasti perayaan hari ibu tidak sekelabu ini untukku.
13.41 WITA
Ende, 22 Desember 2019.
Nov..terharu aku bacanya..
BalasHapusHaiii kak... Syukurlah kalau emosinya dapeeet... 🙏
HapusSumpah baca ini buat rindu Oma n Mama Ina...
BalasHapus