Patah Hati -- yang menyegarkan (end) ❤️
Tepat hari ketiga bergejolak hati, lelahpun tiba. Sudah cukup! Bertanya tanpa berdoa ke Tuhan, yang ada hanya sesak.
Sore itu, saya segera mengambil Alkitab dan duduk bersila di lantai kamar. Sepanjang doa, saya mengungkapkan semua kekecewaan dan kemarahan pada Tuhan. Nyaris tanpa jeda. Hati saya hampa. Tak satupun kelegaan. Kalut -- buru-buru saya membuka Alkitab. Membaca serampangan firman Tuhan. Berharap ada jawaban Tuhan disitu. Lagi, tak ada kelegaan. Saya menangis sejadi-jadinya. Mengapa saya selemah ini, Tuhan? Mengapa saya tidak setegar teman-teman lainnya yang begitu legowo menerima hasil "memuaskan" meskipun mereka sudah berjuang maksimal saat aktualisasi?!
Masih bertanya dalam sesenggukan yang menjadi. Lama menghening. Mata saya terpejam. Pasrah.
Sekilas, ada begitu banyak bayangan melintas dalam benak saat itu. Memori setiap kegiatan semasa aktualisasi seperti dimainkan ulang. Saya berdiri di depan ruangan, memegang sebuah mikrofon. Pandangan saya begitu pasti menghadap ke depan. Tersenyum. Percaya diri. Berbicara dengan penuh antusias. Ada tawa yang menyambut. Para ibu di depan saya begitu bersemangat, menyimak pembicaraan saya.
Terlintas juga senyum para ketua RT, ketua dan kelompok tani yang begitu tulus terpancar. Teman dan sahabat juga senior yang bersama-sama menemani saya selama aktualisasi. Mereka yang meluangkan waktunya cuma-cuma hanya untuk melancarkan kegiatan saya.
Mereka yang kemudian mengirimkan saya beberapa gambar, bangga dengan hasil mie sayur buatan mereka. Dengan sukacita menyampaikan ke saya, "ibu, sebaiknya berapa harga jual mie? Kami ada pesanan mie sayur dari hotel". "Terima kasih sudah ajarkan kami cara membuat mie sayur, kaka".
Yang di hari-hari terakhir aktualisasi, ada panggilan pelatihan dari desa tetangga. Meminta saya melatih mereka mengolah hasil pertanian. Dibiayai dan mendapat honorium kala itu. Sebuah aktualisasi yang dibayar! Tepat, di saat saya begitu membutuhkan "biaya".
Ada sahabat dan keluarga yang mendukung. Dari yang sekedar mengirim pesan singkat di WA dan yang sampai rela dijadikan kamar kosnya untuk tempat diskusi dan print laporan aktualisasi.
Ada begitu banyak wajah dan hati baik yang melancarkan semua perjalanan aktualisasi saya. Ada begitu banyak orang dan kesempatan baik yang Tuhan sediakan sepanjang aktualisasi berjalan. Ada begitu banyak kebaikan Tuhan yang terjadi selama aktualisasi. Banyak kasih! Banyak berkat! Dan itu bukan kebetulan. Tuhan bekerja atas aktualisasi saya. Ia menjawab kebutuhan saya, bukan soal "nilai" dan "kualifikasi" semata. Tetapi yang paling sering saya minta padaNya-- Tuhan mempersiapkan saya untuk berkarya dan melayani. Mematangkan talenta yang diberiNya.
Sudahkah saya bersyukur atas semua kebaikan ini?
Keheningan saya pecah!
Tersadarkan, saya menutup mata dan menangis sejadi-jadinya.
Saya begitu malu di hadapan Tuhan. Telah menyalahkan Tuhan atas semua patah hati saya yang tak berakal. Bahkan memfitnah Tuhan mempermainkan saya. Betapa jauhnya hati saya dari Tuhan, tidak peka dan melupakan kebaikan Tuhan atas aktualisasi saya.
Hari itu, hanya satu pinta saya-- "Tuhan, saya akan belajar mengucap syukur setiap saat. Untuk segala situasi".
Saya tidak ingin terjebak dalam perasaan tak bersyukur ini. Saya tidak ingin menyalahkan diri, keadaan bahkan Tuhan dalam segala "kekecewaan" saya.
Dan untuk pengalaman ini, saya mau mengucap syukur bahwa Tuhan telah berbicara dalam kekalutan saya. Sungguh, Tuhanku baik!
Mengatup amin, hati sayapun tersenyum mendapati senja. Kelegaan -- perasaan yang sangat dirindukan seorang anak patah hati ❤️
Terima kasih, sudah menyembuhkan tubuh dan menyegarkan tulang yang kering. π±
πDanga, 26 November 2021
Komentar
Posting Komentar