Patah Hati πŸ’” (2)

Sehari berlalu, tapi perasaan hati masih saja galau. Pertanyaan demi pertanyaan itu terlalu menjejal dalam hati dan pikiran. Meski perlahan menjadi semakin reda, seiring air mata yang mengucur diam. Hening tanpa suara. 

Ya, saya memendam tangisan itu. Hanya ingin terlihat kuat di depan keluarga. Mempertahankan sosok perempuan tangguh, yang bijak menghadapi segala situasi. 

Tapi perasaan itu terlalu kuat. Tak tahan lagi membendung semua emosi di dalam dada. Tangisan diam itu, terciduk juga. 

Kali ini, saya tidak hanya bertanya kepada Tuhan. Tapi juga pada teman hidup. orang yang berhasil menciduk kesedihan saya. Seseorang yang sangat berperan penting dalam hidup saya, khususnya selama pelaksanaan aktualisasi kemarin. 

Bukan jawaban menenangkan yang saya dapati. Yang ada hanyalah sebuah nasehat. Yang (saat itu) saya terjemahkan sebagai sebuah teguran. Karena pernyataannya membuat hati saya semakin terbelah, berkeping-keping. 

"Kamu harus fair. Karena penilaian, datangnya  harus dari (orang) luar. Itu baru objektif. Jika ingin diapresiasi, tidak se-instan itu. Perlu waktu dan proses. Bersyukurlah untuk setiap pencapaianmu!"

Hati saya semakin gelisah. Pertanyaan ke Tuhan seperti tanpa jawaban. Pernyataan dari teman hidup seperti bukan jawaban. Harus bagaimanakah saya menyikapi perasaan patah hati ini? 

Saya (merasa) sudah berusaha yang terbaik. Adakah usaha yang mengkhianati hasil?  Malam itu, sayapun lelap dalam selimut pertanyaan. 

(bersambung) 

πŸ“Danga, 24 November 2021

Komentar

Postingan Populer